Di ujung utara Jl. Pengok Kidul Yogyakarta,
ada sebuah kios berwarna hijau. Di kios itulah Pak Sukro (76 tahun) di hari
tuanya tetap berkarya sebagai seorang penjahit. “Penjahit Puncak”, demikian Pak
Sukro memberi merek pada usahanya. Ditemani salah satu anaknya, Pak Sukro
setiap hari bergelut dengan kain, benang, gunting dan irama mesin jahit. Tiada
jemu, tiada lelah, karena pilihan hidup telah diputuskan.
Pengalaman panjang sebagai seorang penjahit
diawalinya ketika tahun 1957 masuk
sekolah menjahit di Semarang. Pendidikan itu dia tempuh selama dua tahun dan
setelah lulus ujian negara, dia berangkat ke Bandung untuk menimba pengalaman.
Di Braga Tailor Jl. Braga Kota Bandung, Pak Sukro serius untuk belajar mempola
dan menjahit jas. Bukan perkara mudah untuk membuat sebuah jas karena ada
beberapa gaya jas yang harus dipelajari. Menurutnya, di dunia ada tiga gaya
potongan jas yang menjadi rujukan para penjahit. Gaya Italia, Perancis dan
Amerika. Semuanya memiliki ciri khas yang membedakan satu dengan lainnya.
Merasa pengalaman membuat jas sudah cukup,
Pak Sukro mencoba peruntungan dengan hijrah ke Jakarta. Tahun 1964, dia bekerja
di Ramson Tailor di Jl. Pintu Air Raya Jakarta. Tak bertahan lama hidup di
Jakarta, Pak Sukro memutuskan untuk pulang ke Semarang, niatnya cuma satu,
membuka usaha sendiri. Pasang surut usahanya di Semarang membuatnya berpikir
untuk mencoba peruntungan baru. Yogyakarta dipilih sebagai pelabuhan baru untuk
memperbaiki kehidupan.
Tahun 1980, Pak Sukro bekerja di Waspada
Tailor di Jl. Perwakilan Yogyakarta sebagai langkah awal hidup di Yogyakarta.
Cuma setahun bertahan di Waspada Tailor, dia mendapat tawaran untuk ikut
bergabung dengan Prima Tailor, di daerah Demangan, yang baru didirikan. Cukup
lama Pak Sukro bergabung dengan Prima Tailor, sebelum akhirnya memutuskan untuk
mandiri.
Di daerah Babadan, Pak Sukro awalnya membuka
usaha menjahitnya. Dalam beberapa tahun dia sudah berhasil mendirikan cabang,
di Jl. Cendana dan di seputaran Jl. Mawar. Saat jalan-jalan pagi, Pak Sukro
melihat satu kios kosong di ujung utara Jl. Pengok Kidul. Merasa tertarik
dengan lokasinya, dia mencoba untuk mencari informasi, milik siapa kios
tersebut. Hingga pada akhirnya, tahun 1989 Pak Sukro resmi membuka usaha di
Pengok Kidul sampai saat ini.
Telah 56 tahun Pak Sukro setia dengan
profesinya sebagai seorang penjahit. Suka duka sebagai seorang penjahit telah
dirasakannya. Ada kalanya pekerjaan berlimpah dan ada kalanya pekerjaan sepi.
Kesetiaannya menjalani profesi membuatnya menjadi legenda hidup. Entah sampai
kapan Pak Sukro akan terus berkarya karena menjahit telah menjadi hidupnya. Di
senja usianya, Pak Sukro masih terus giat bekerja untuk menghidupi profesi yang
mungkin sudah sangat jarang anak muda yang tertarik menggelutinya. Pak Sukro
tidak perlu cemas, karena tiga dari enam anaknya kini memilik profesi yang sama
sebagai seorang penjahit. Sang legenda telah menurunkan ilmunya kepada
anak-anaknya. Selamat bekerja Pak Sukro.
Salut buat Pak Sukro sebagai penjahit, semangatnya sangat luar biasa jasa jahit setelan batikkami juga penjahit seragam sekolah lo Pak.
BalasHapus